PMI PADA PERTEMPURAN 1945-1946
Pada mulanya, Palang Merah Indonesia (PMI) ingin berkerja sama dengan International Committee of the Red Cross (ICRC) dengan mengontak wakilnya di Indonesia yaitu Mr. Weidmann untuk pekerjaan PMI pada saat pertempuran. Akan tetapi ICRC menolak, karena menganggap, bahwa Belandalah yang berdaulat di Indonesia. Tapi, sikap tersebut tidak lama berubah, karena akhirnya saat pecah pertempuran di Surabaya, ICRC meminta bantuan kepada PMI dengan memakai surat yang beralamatkan: “To the Headoffice of P.M.I”. Begitu penting saat itu PMI mengajak bekerja sama ICRC karena menyangkut pekerjaan di front pertempuran yang membutuhkan perlindungan secara hukum internasional.
Pekerjaan pokok dari PMI saat itu adalah memberikan pertolongan dan bantuan korban pertempuran, Ini bukan tugas yang ringan. Pertempuran ada dimana-mana. Diantaranya di sekitar Jakarta yang kemudian menjalar sampai Bekasi, Tanggerang, sepanjang jalan Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Semarang dan di Jawa Timur. PMI bekerja baik untuk melindungi penduduk sipil, mengurus pengungsian, dapur umum, maupun untuk pertolongan pertama pada korban-korban pertempuran, pengangkutan dan perawatannya, sampai kepada penguburannya jika ada yang meninggal.
Berhubung dengan itu, maka oleh cabang-cabang dibentuk pasukan-pasukan penolong pertama (mobiele Colonne) yang terbukti sangat besar jasa-jasanya. Anggota Mobiele Colonne terdiri dari pelajar-pelajar sekolah tinggi dan menengah. Mereka bekerja dengan baik dan mengagumkan sekalipun tempat-tempat mereka memberikan bantuan dan pertolongan masih berbahaya. Disini telah nyata bahwa PMI telah dapat memenuhi panggilan negaranya yang sedang terancam keamanan dan kedaulatannya.
Para dokter terus menerus mengadakan pelatihan PPPK, baik pemuda turunan ningrat, maupun pemuda desa bersama-sama mengabdi pekerjaan murni ini, baik ikut front pertempuran atau ke daerah lain, maupun bekerja di rumah-rumah sakit dan kewajiban-kewajiban Palang Merah lainnya.
Di Jakarta, sebagai medan pertempuran utama, PMI mendirikan pos-pos PPPK di Jl. Bidara Cina No. 6, Seksi-seksi Polisi 2, 3, 4, 5 dan 7, kemudian Asrama Sekolah Dokter di Jl. Prapatan No. 10, Poliklinik Angke 76, Elisabeth Park di Jatipetamburan, Jl. Kramat No. 45 dan Pos Polisi di Kota, Sunter, Hutan Kayu serta Klender.
PMI semakin dikenal di seluruh Indonesia karena tugas-tugasnya di pertempuran dikerjakan dengan baik dengan badge Palang Merah di samping merah putih sebagai “Tanda Perbedaan”.
Untuk lebih cepat menyelesaikan pekerjaan pertolongan dan perawatan di pertempuran, tahun 1946, PMI mengumpulkan 60 wanita yang di asramakan di gedung Chr. H.B.S. di Salemba, untuk dididik sebagai pembangtu juru rawat. Setelah selesai dididik, mereka dikirim ke pertempuran sekitar Jakarta, Purwakarta, Bandung. Pada pertempuran di Magelang, Semarang dan lain-lain daerah, mereka dikirim sebagai rombongan pertolongan yang sangat berharga. Penduduk maupun pejuang sangat berterima kasih atas jasa-jasa pengorbanan mereka.
Pada saat melakukan tugasnya di front pertempuran untuk merawat dan menolong para korban, seringkali truk PMI dibakar, malahan beberapa mobil PMI diambil oleh Belanda. Kejadian-kejadian ini diprotes oleh PMI, dan dengan perantaraan Brigadir Smith dan ICRC mobil-mobil itu dikembalikan. Melalui kisah di atas, PMI merupakan bagian dari sejarah bangsa Indonesia, terutama pada bidang kemanusiaan. (Indra Yogasara, Buku Sejarah PMI, Markas Pusat PMI, 1953)

Komentar

Postingan populer dari blog ini